A.
Implementasi Pancasila diberbagai
Aspek Kehidupan di Era Globalisasi.
Sebagai suatu paradigma, Pancasila merupakan model atau pola
berpikir yang mencoba memberikan penjelasan atas kompleksitas realitas sebagai
manusia personal dan komunal dalam bentuk bangsa. Pancasila yang merupakan
satuan dari sila-silanya harus menjadi sumber nilai, kerangka berfikir, serta
asas moralitas bagi pembangunan. Aktualisasi pancasila dapat dibedakan atas dua
macam yaitu aktualisasi secara obyektif dan subyektif.
1. Aktualisasi pancasila secara
obyektif yaitu aktualisasi pancasila dalam berbagai bidang kehidupan kenegaraan
yang meliputi kelembagaan Negara, bidang politik, bidang ekonomi dan bidang
hukum.
2. Aktualisasi pancasila secara
subyektif yaitu aktualisasi pancasila pada setiap individu terutama dalam aspek
moral dalam kaitannya dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakatPancasila itu
menggambarkan Indonesia, Indonesia yang penuh dengan nuansa plural, yang secara
otomatis menggambarkan bagaiaman multikulturalnya bangsa kita.
Ideologi Pancasila hendaknya menjadi satu panduan dalam
berbangsa dan bernegara. Para founding father kita dengan cerdas dan jitu telah
merumuskan formula alat perekat yang sangat ampuh bagi negara bangsa yang
spektrum kebhinekaannya teramat lebar (multfi-facet natio state) seperti
Indonesia. Alat perekat tersebut tiada lain daripada Pancasila yang berfungsi
pula sebagai ideologi, dasar negara serta jatidiri bangsa. Sampai kini Pancasila
diyakini sebagai yang terbaik dari sekian alternatif yang ada,merupakan ramuan
yang tepat dan mujarab dalam mempersatukan bangsa, sehingga Prof. Dr. Syafi'i
Maarif menyebutnya sebagai “Indonesia Masterpiece” (Karya Agung Bangsa
Indonesia). Namun demikian Pancasila tidak akan dapat member manfaat apapun
manakala keberadannya hanya bersifat sebagai konsep atau software belaka. Untuk
dapat berfungsi penuh sebagai perekat bangsa. Pancasila harus diimplementasikan
dalam segala tingkat kehidupan, mulai dari kehidupan pribadi, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara (Pancasila), dan dalam segala aspek meliputi politik,
ekonomi, budaya, hukum dan sebagainya.
1. Bidang Politik
Landasan aksiologis (sumber nilai) system politik Indonesia
adalah dalam pembukaan UUD 1945 alenia IV “….. maka disusunlah Kemerdekaan
Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang dasar Negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang Berkedaulatan
rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemasusiaan yang adil
dan beradab, Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan social
bagi seluruh rakyat indonesia”.Sehingga system politik Indonesia adalah
Demokrasi pancasila . Dimana demokrasi pancasila itu merupakan system
pemerintahan dari rakyat dalam arti rakyat adalah awal mula kekuasaan Negara
sehingga rakyat harus ikut serta dalam pemerintahan untuk mewujudkan suatu
cita-cita. Organisasi sosial politik adalah wadah pemimpin-pemimpin bangsa
dalam bidangnya masing-masing sesuai dengan keahliannya, peran dan tanggung
jawabnya. Sehingga segala unsur-unsur dalam organisasi sosial politik seperti
para pegawai Republik Indonesia harus mengikuti pedoman pengamalan Pancasial
agar berkepribadian Pancasila karena mereka selain warga negara Indonesia, juga
sebagai abdi masyarakat, dengan begitu maka segala kendala akan mudah dihadapi
dan tujuan serta cita-cita hidup bangsa Indonesia akan terwujud. Nilai dan ruh
demokrasi yang sesuai dengan visi Pancasila adalah yang berhakikat:
a. kebebasan,
terbagikan/terdesentralisasikan, kesederajatan, keterbukaan, menjunjung etika
dan norma kehidupan
b. kebijakan politik atas dasar
nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi yang memperjuangkan kepentingan
rakyat , kontrol publik,
c. Pemilihan umum yang lebih
berkualitas dengan partisipasi rakyat yang seluas-luasnyad. supremasi hukum.
Begitu pula standar demokrasinya
yang
a. bermekanisme ‘checks and balances’,
transparan, akuntabel,
b. berpihak kepada ‘social welfare’,
serta
c. meredam konflik dan utuhnya NKRI. perbaikan
moral tiap individu yang berimbas pada budaya anti-korupsi serta melaksanakan
tindakan sesuai aturan yang berlaku adalah sedikit contoh aktualisasi Pancasila
secara Subjektif. Aktualisasi secara objektif seperti perbaikan di tingkat penyelenggara
pemerintahan. Lembaga-lembaga negara mesti paham betul bagaimana bekerja sesuai
dengan tatanan Pancasila. Eksekutif, legislatif, maupun yudikatif harus terus berubah
seiring tantangan zaman. “Demokrasi sebagai suatu sistem kehidupan didalam masyarakat
dijamin keleluasaannya untuk mengekspresikan kepentingan”. Pada kalimat itulah
yang kemudian berkembang bahwa kepentingan kelompok cenderung akan lebih besar
daripada kepentingan nasional. Demi kepentingan kelompok/partai, mereka rela
menggunakan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan dan untuk memperbesar
cengkeramannya pada upaya penguasaan bangsa. Pada kenyataannya kepentingan
rakyat dan kepentingan Nasional justru diabaikan pada hal mereka itu adalah
konstituen yang harusnya mendapat perhatian dan kesejahteraan. Penyelenggaraan
negara yang menyimpang dari ideologi pancasila dan mekanisme Undang Undang
Dasar 1945 telah mengakibatkan ketidak seimbangan kekuasaan diantara
lembaga-lembaga negara dan makin jauh dari cita-cita demokrasi dan kemerdekaan
yang ditandai dengan berlangsungnya sistem kekuasaan yang bercorak absoluth
karena wewenang dan kekuasaan Presiden berlebih (The Real Executive ) yang
melahirkan budaya Korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) sehingga terjadi krisis
multidimensional pada hampir seluruh aspek kehidupan. Ini bisa dilihat betapa
banyaknya pejabat yang mengidap penyakit “amoral” meminjam istilah Sri
Mulyani-moral hazard. Hampir tiap komunitas (BUMN maupun BUMS), birokrasi,
menjadi lumbung dan sarang “bandit” yang sehari-hari menghisap uang negara
dengan praktik KKN atau kolusi, korupsi, dan nepotisme. Sejak Republik
Indonesia berdiri, masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme selalu muncul ke
permukaan. Bermacam-macam usaha dan program telah dilakukan oleh setiap
pemerintahan yang berkuasa dalam memberantas korupsi tetapi secara umum hukuman
bagi mereka tidak sebanding dengan kesalahannya, sehingga gagal untuk membuat
mereka kapok atau gentar. Mengapa tidak diterapkan, misalnya hukuman mati atau
penjara 150 tahun bagi yang terbukti. Para elit politik dan golongan atas
seharusnya konsisten memegang dan mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam
setiap tindakan. Dalam era globalisasi saat ini , pemerintah tidak punya banyak
pilihan. Karena globalisasi adalah sebuah kepastian sejarah, maka pemerintah
perlu bersikap. ”Take it or Die” atau lebih dikenal dengan istilah ”The Death
of Government”. Kalau kedepan pemerintah masih ingin bertahan hidup dan
berperan dalam paradigma baru ini maka orientasi birokrasi pemerintahan
seharusnya segera diubah menjadi public services management
2. . Bidang Ekonomi
Pengaktualisasian pancasila dalam bidang ekonomi yaitu
dengan menerapkan sistem ekonomi Pancasila yang menekankan pada harmoni
mekanisme harga dan social (sistem ekonomi campuran), bukan pada mekanisme
pasar yang bersasaran ekonomi kerakyatan agar rakyat bebas dari kemiskinan,
keterbelakangan, penjajahan/ketergantungan, rasa was-was, dan rasa diperlakukan
tidak adil yang memosisikan pemerintah memiliki asset produksi dalam jumlah
yang signifikan terutama dalam kegiatan ekonomi yang penting bagi negara dan yang
menyangkut hidup orang banyak. Sehingga perlu pengembangan Sistem Ekonomi
Pancasila sehingga dapat menjamin dan berpihak pada pemberdayaan koperasi serta
usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM).selain itu ekonomi yang berdasarkan
Pancasila tidak dapat dilepaskan dari sifat dasar individu dan sosial. Manusia
tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain untuk memenuhi semua
kebutuhanya tetapi manusia juga mempunyai kebutuhan dimana orang lain tidak
diharapkan ada atau turut campur.
Ekonomi menurut pancasila adalah berdasarkan asas
kebersamaan, kekeluargaan artinya walaupun terjadi persaingan namun tetap dalam
kerangka tujuan bersama sehingga tidak terjadi persaingan bebas yang mematikan.
Dengan demikian pelaku ekonomi di Indonesia dalam menjalankan usahanya tidak
melakukan persaingan bebas, meskipun sebagian dari mereka akan mendapat
keuntungan yang lebih besar dan menjanjikan. Hal ini dilakukan karena
pengamalan dalam bidang ekonomi harus berdasarkan kekeluargaan. Jadi interaksi
antar pelaku ekonomi sama-sama menguntungkan dan tidak saling menjatuhkan.
Pilar
Sistem Ekonomi Pancasila yang meliputi:
a. ekonomika etik dan ekonomika humanistic
b. nasionalisme ekonomi & demokrasi
ekonomi
c. ekonomi berkeadilan social. Namun
pada kenyataannya, sejak pertengahan 1997 krisis ekonomi yang menimpa Indonesia
masih terasa hingga hari ini. Di tingkat Asia, Indonesia yang oleh sebuah studi
dari The World Bank (1993) disebut sebagai bagian dari Asia miracle economics,
the unbelieveble progress of development, ternyata perekonomiannya tidak lebih
dari sekedar economic bubble, yang mudah sirna begitu diterpa badai krisis
(World Bank, 1993). Krisis ekonomi terbesar sepanjang sejarah bangsa Indonesia
Orde Baru dan Orde Lama yang dialami sekarang ini telah mencuatkan tuntutan reformasi
total dan mendasar (radically). Bermula dari krisis moneter (depresi rupiah)
merambah ke lingkungan perbankan hingga ke lingkup perindustrian. Kebijakan
perekonomian Indonesia yang diterapkan tidak membumi, hanya sebatas “membangun
rumah di atas langit” dan akibatnya upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat
menjadi tersingkirkan. Rakyat masih terus menjadi korban kegagalan kebijakan
pemerintah. Potret perekonomian Indonesia semakin buram, memperhatikan
kebijakan pemerintah yang selalu “pasrah” dengan Bank Dunia atau pun
International Monetary Fund (IMF) dalam mencari titik terang perbaikan ekonomi
Indonesia. Belum lagi menumpuknya utang luar negeri semakin menghimpit nafas
bangsa Indonesia, sampai-sampai seorang bayi baru lahir pun telah harus menanggung
hutang tidak kurang dari 7 juta rupiah. Seorang pengamat Ekonomi Indonesia,
Prof. Laurence A. Manullang, mengatakan bahwa selama bertahun-tahun berbagai
resep telah dibuat untuk menyembuhkan penyakit utang Internasional, tetapi
hampir disepakati bahwa langkah pengobatan yang diterapkan pada krisis utang
telah gagal. Fakta yang menyedihkan adalah Indonesia sudah mencapai tingkat
ketergantungan (kecanduan) yang sangat tinggi terhadap utang luar negeri.
Sampai sejauh ini belum ada resep yang manjur untuk bisa keluar dari belitan
utang. Penyebabnya adalah berbagai hambatan yang melekat pada praktik yang
dijalankan dalam sistem pinjaman internasional, tepatnya negara-negara donor
(Bogdanowicz-Bindert, 1993). Keputusan pemerintah yang terkesan tergesa-gesa
dalam mengambil kebijakan untuk segera memasuki industrialisasi dengan
meninggalkan agraris, telah menciptakan masalah baru bagi national economic
development. Bahkan menurut sebagian pakar langkah Orde baru dinilai sebagai
langkah spekulatif seperti mengundi nasib, pasalnya, masyarakat Indonesia yang
sejak dahulu berbasis agraris Sebagai konsekuensinya, hasil yang didapat,
setelah 30 tahun dicekoki ideologi ‘ekonomisme’ itu justru kualitas hidup
masyarakat Indonesia semakin merosot tajam (dekadensia). Jika hingga saat ini
kualitas perekonomian belum menampakkan perubahan yang signifikan, tidak
menutup kemungkinan, akan mendapat pukulan mahadasyat dari arus globalisasi.
Kekhawatiran ini muncul, karena pemerintah dalam proses pemberdayaan masyarakat
lemah masih parsial dan cenderung dualisme, antara kemanjaan (ketergantungan)
pemerintah kepada IMF, sementara keterbatasan akomodasi bentuk perekonomian
masyarakat yang tersebar (diversity of economy style) di seluruh pelosok negeri
tidak tersentuh. Hal ini juga terlihat jelas pada kebijakan-kebijakan
pemerintah yang tidak proporsional, tidak mencerminkan model perekonomian yang
telah dibangun oleh para Founding Father terdahulu. Hal ini dapat dilihat pada
beberapa kasus, misalnya, pencabutan subsidi di tengah masyarakat yang sedang
sulit mencari sesuap nasi, mengelabuhi masyarakat dengan raskin (beras untuk
rakyat miskin), atau jaring pengaman sosial (JPS) lain yang selalu salah
alamat.
3. Bidang Sosial Budaya
Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
moral, hukum, adat-istiadat dan lain kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang
didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat (Soerjono Soekanto, 2005:
172). Aktualisasi Pancasila dalam bidang social budaya berwujud sebagai
pengkarakter sosial budaya (keadaban) Indonesia yang mengandung nilai-nilai
religi, kekeluargaan, kehidupan yang selaras-serasi-seimbang, serta kerakyatan
profil sosial budaya Pancasila dalam kehidupan bangsa Indonesia yang gagasan,
nilai, dan norma/aturannya yang tanpa paksaan sebagai sesuatu yang dibutuhkan
proses pembangunan budaya yang dibelajarkan/dikondisikan dengan tepat dan
diseimbangkan dalam tatanan kehidupan, bukan sebagai suatu warisan dari
generasi ke generasi, serta penguatkan kembali proses integrasi nasional baik
secara vertical maupun horizontal. Begitu luasnya cakupan kebudayaan tetapi
dalam pengamalan Pancasila kebudayaan bangsa Indonesia adalah budaya ketimuran,
yang sangat menjunjung tinggi sopan santun, ramah tamah, kesusilaan dan
lain-lain. Budaya Indonesia memang mengalami perkembangan misalnya dalam hal
Iptek dan pola hidup, perubahan dan perkembangan ini didapat dari kebudayaan
asing yang berhasil masuk dan diterima oleh bangsa Indonesia. Semua kebudayaan
asing yang diterima adalah kebudayaan yang masih sejalan dengan Pancasila.
Walaupun begitu tidak jarang kebudayaan yang jelas-jelas bertentangan dengan
budaya Indonesia dapat berkembang di Indonesia. Seperti terjadinya pergeseran
gaya hidup (life style) yang oleh sejumlah pakar gejala ini termasuk jenis
kemiskinan sosial-budaya. Beberapa indikasi dapat dikemukakan di sini, antara
lain: manusia hidup cenderung materialistik dan individualistik,menurunnya rasa
solidaritas, persaudaraan, rasa senasib-sepenanggungan, keharusan mengganti
mata pencaharian, pelecehan terhadap institusi adat, dan bahkan pengikisan
terhadap nilai-nilai tertentu ajaran agama. Ciri ini telah ada dan berkembang
hingga ke daerah-daerah. Dulu masih dapat dinikmati indahnya hubungan
kekeluargaan (silaturrahim), realitas sekarang semua itu sudah tergantikan
dengan komunikasi jarak jauh. Misalnya, kebiasaan berkunjung ke daerah untuk
merayakan lebaran atau hari-hari penting lainnya, telah tergantikan dengan
telpon atau e-mail. Mestinya kondisi ini tidak perlu terjadi pada bangsa yang dikenal
ramah, santun, dan religius.
Perobahan sosial berikutnya bahwa pluralitas tidak terfocus hanya pada aspek SARA, tetapi dimasa yang akan datang kemajemukan masyarakt Indonesia yang sangat heterogen ditandai dengan adanya sinergi dari peran, fungsi dan profesionalisme individu atau kelompok. Sehingga kontribusi profesi individu/kelompok itulah yang akan mendapat tempat dimanapun mereka berprestasi.
Perobahan sosial berikutnya bahwa pluralitas tidak terfocus hanya pada aspek SARA, tetapi dimasa yang akan datang kemajemukan masyarakt Indonesia yang sangat heterogen ditandai dengan adanya sinergi dari peran, fungsi dan profesionalisme individu atau kelompok. Sehingga kontribusi profesi individu/kelompok itulah yang akan mendapat tempat dimanapun mereka berprestasi.
Ini menunjukan bahwa filter Pancasila tidak berperan
optimal, itu terjadi karena pengamalan Pancasila tidak sepenuhnya dilakukan
oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu harus ada tindakan lanjut agar budaya
bangsa Indonesia sesuai dengan Pancasila. Pembudayaan Pancasila tidak hanya
pada kulit luar budaya misalnya hanya pada tingkat propaganda, pengenalan serta
pemasyarakatan akan tetapi sampai pada tingkat kemampuan mental kejiwaan
manusia yaitu sampai pada tingkat akal, rasa dan kehendak manusia.
4. Bidang Hukum Pertahanan dan Keamanan
Negara harus berdasarkan pada tujuan demi tercapainya hidup
manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa, harus menjamin hak-hak dasar,
persamaan derajat serta kebebasan kemanusiaan dan hankam. Pertahanan dan
keamanan harus diletakkan pada fungsi yang sebenarnya sebagai soatu Negara
hukum dan bukannya suatu Negara yang berdasarkan kekuasaan. Pertahanan dan
Keamanan,
Pancasila dapat dijadikan sebagai margin of appreciation
akan mengandung fungsi-fungsi sebagai: the line at which supervision should
give way to State’s discretion in enacting or enforcing its law,
striking(menemukan) a balance between a right quaranteed and a permitted
derogation (limitation), Move principle of justification than interpretation,
Preventing unneccesarry restriction, To avoid damaging dispute, A Uniform
Standard of Protection, Gives flexibility needed to avoid damaging
confrontantions. Peranan Pancasila sebagai margin of appreciation di bidang
hukum akan mewarnai segala sub sistem di bidang hukum, baik substansi hukum
yang bernuansa “law making process”, struktur hukum yang banyak bersentuhan
dengan “law enforcement” maupun budaya hukum yang berkaitan dengan “law
awareness”. Peranan Pancasila sebagai margin of appreciation yang mengendalikan
kontekstualisasi dan implementasinya telah terjadi pada:
a. Pada saat dimantabkan dalam
Pembukaan UUD 1945 pada saat 4 kali proses amandemen
b. Pada saat merumuskan HAM dalam hukum
positif Indonesia
c. Pada saat proses internal di mana The Founding
Fathers menentukan urutan Pancasila. Mengingat TNI sebagai bagian integral
bangsa Indonesia senantiasa memegang teguh jati diri sebagai tentara rakyat,
tentara pejuang, dan tentara nasional berperan serta mewujudkan keadaan aman
dan rasa aman masyarakat, sesuai perannya sebagai alat petahanan NKRI. TNI
sebagai bagian dari rakyat berjuang bersama rakyat, senantiasa menggugah
kepedulian TNI untuk mendorong terwujudnya kehidupan demokrasi, juga
terwujudnya hubungan sipil militer yang sehat dan persatuan kesatuan bangsa
melalui pemikiran, pandangan, dan langkah-langkah reformasi internal ini. Beberapa
arah kebijakan negara yang tertuang dalam GBHN, dan yang harus segera
direlisasikan, khususnya dalam bidang hukum antara lain:
1) Menata sistem hukum nasional yang
menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum
adat serta memperbarui Undang-undang warisan kolonial dan hukum nasional yang
diskriminatif, termasuk ketidak adilan gender dan ketidak sesuaiaannya dengan
tuntutan reformasi melalui program legislasi.
2) Meningkatkan integritas moral dan
keprofesionalan para penegak hukum, termasuk Kepolisian RI, untuk menumbuhkan
kepercayaan masyarakat dengan meningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan
prasarana hukum, pendidikan, serta pengawasan yang efektif.
3) Mewujudkan lembaga peradilan yang
mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun.
4) Mengembangkan budaya hukum di semua
lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam
kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum. Satu hal yang perlu kita
garis bawahi, bahwa Indonesia adalah negara hukum, artinya semua lembaga,
institusi maupun person yang ada di dalamnya harus tunduk dan patuh pada hukum.
Maka ketika hukum di Indonesia betul-betul ditegakkan dengan tegas, dan
dikelola dengan jujur, adil dan bijaksana, insya Allah negeri ini akan makmur
dan tentramNamun saat ini betapa rapuhnya sistem dan penegakkan hukum (law
enforcement) di negeri ini dan karena itu merupakan salah satu kendala utama
yang menghambat kemajuan bangsa, sistem hukum yang masih banyak mengacu pada
sistem hukum kolonial, penegakkan hukum yang masih terkesan tebang pilih, belum
konsisten merupakan mega pekerjaan rumah serta jalan panjang yang harus
ditempuh dalam bidang hukum, Kepercayaan masyarakat terhadap supremasi hukum,
termasuk lembaga-lembaga penegak hukum, kian terpuruk . contohnya setelah
putusan Kasasi Akbar Tanjung, sebagian besar masyarakat menganggap putusan
Mahkamah Agung itu mengusik keadilan masyarakat sehingga menimbulkan rasa
kekecewaan yang sangat besar. Akibatnya, kini ada kecenderungan munculnya
sinisme masyarakat terhadap setiap gagasan dan upaya pembaharuan hukum yang
dimunculkan oleh negara maupun civil society.
Patut kita jadikan referensi
tersendiri kasus-kasus menarik MA, berawal dari isu kolusi dalam kasus Ghandi
Memorial School (GMS), yang menjadi sangat menarik karena kasus ini justru
berasal dari Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto. Dan kasus korupsi dana non
bagiter bulog senilai 40 miliar, yang menjadi tersangka utama ketua DPR RI,
yang sekaligus Ketua Umum Partai yang berlambang pohon beringin, Akbar Tanjung.
Yang kesemuanya itu merupakan representasi dari berbagai putusan pengadilan
atas kasus-kasus korupsi lainnya yang mengabaikan rasa keadilan masyarakat dan
sense of crisis. Sejak komitmen reformasi dicanangkan tahun 1998, mandat
reformasi hukum paling utama adalah “ Membersihkan sapu kotor” agar mampu
Membersihkan “lantai kotor”. Sapu kotor menggambarkan institusi penegak hukum
kita kepolisian, kejaksaan, dan peradilan yang belum steril dari praktek
korupsi sehingga menyulitkan untuk melaksanakan mandat penegakan hukum secara
tidak diskriminatif.
B.
Funsi dan Peran Pancasila di Era
Global
Dalam masa revormasi dan globalisasi sebagai koridor agar di
era yang bebas tetap di jalan yang sesuai dengan ideologi bangsa.
Karena
sesuai fungsi pancasila diantaranya yaitu :
1.
Sebagai dasar Negara, yaitu sebagai pedoman atau landasan
pengatur bangsa.
2.
Sebagai ideology Negara.
3.
Sebagai sumber dari segala sumber hukum.
4.
Sebagai pandangan hidup bangsa.
5.
Sebagai jiwa dan kepribadian bangsa, yaitu pancasila sebagai
pembeda / yang membedakan Bangsa Indonesia dengan Bangsa lain.
6.
Sebagai perjanjian luhur.
7.
Sebagai falsafah.
Peran
Pancasla di era global
1. .Fenomena
GlobalisasiGlobalisasi adalah fenomena dimana batasan-batasan antar negara
seakan memudar karena terjadinya berbagai perkembangan di segala aspek kehidupan,khususnya
di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.Dengan terjadinya perkembangan
berbagai aspek kehidupan khususnya di bidang iptek maka manusia dapat pergi dan
berpindah ke berbagai negara dengan lebih mudah serta mendapatkan berbagai
informasi yang ada dan yang terjadi di dunia. Namun fenomena globalisasi ini
tidak selalu memberi dampak positif,berbagai perubahan yang terjadi akibat dari
globalisasi sudah sangat terasa,baik itu di bidang
politik,ekonomi,sosial,budaya,dan teknologi informasi. Berbagai dampak negatif
terjadi dikarenakan manusia kurang bisa memfilter dampak dari globalisasi
sehingga lebih banyak mengambil hal-hal negatif dari pada hal-hal positif yang
sebenarnya bisa lebih banyak kita dapatkan dari fenomena globalisasi ini.
2. Pancasila
Sebagai Pedoman Dalam Menghadapi Globalisasi
Pancasila
sebagai dasar negara Indonesia yang sudah ditentukan oleh para pendiri negara
ini haruslah menjadi sebuah acuan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan
bernegara,berbagai tantangan dalam menjalankan ideologi pancasila juga tidak
mampu untuk menggantikankan pancasila sebagai ideologi bangsa
Indonesia,pancasila terus dipertahankan oleh segenap bangsa Indonesia sebagai
dasar negara,itu membuktikan bahwa pancasila merupakan ideologi yang sejati
untuk bangsa Indonesia.
Oleh
karena itu tantangan di era globalisasi yang bisa mengancam eksistensi
kepribadian bangsa,dan kini mau tak mau,suka tak suka ,bangsa Indonesia berada
di pusaran arus globalisasi dunia.Tetapi harus diingat bahwa bangsa dan negara
Indonesia tak mesti kehilangan jatidiri,kendati hidup ditengah-tengah pergaulan
dunia.Rakyat yang tumbuh di atas kepribadian bangsa asing mungkin saja
mendatangkan kemajuan,tetapi kemajuan tersebut akan membuat rakyat tersebut
menjadi asing dengan dirinya sendiri.Mereka kehilangan jatidiri yang sebenarnya
sudah jelas tergambar dari nilai-nilai luhur pancasila.
Dalam
arus globalisasi saat ini dimana tidak ada lagi batasan-batasan yang jelas
antar setiap bangsa Indonesia,rakyat dan bangsa Indonesia harus membuka diri. Dahulu,sesuai
dengan tangan terbuka menerima masuknya pengaruh budaya hindu,islam,serta
masuknya kaum barat yang akhirnya melahirkan kolonialisme.pengalaman pahit
berupa kolonialisme tentu sangat tidak menyenangkan untuk kembali terulang.
Patut diingat bahwa pada zaman modern sekarang ini wajah kolonialisme dan
imperialisme tidak lagi dalam bentuk fisik, tetapi dalam wujud lain seperti
penguasaan politik dan ekonomi. Meski tidak berwujud fisik, tetapi penguasaan
politik dan ekonomi nasional oleh pihak asing akan berdampak sama seperti
penjajahan pada masa lalu, bahkan akan terasa lebih menyakitkan. Dalam
pergaulan dunia yang kian global, bangsa yang menutup diri rapat-rapat dari
dunia luar bisa dipastikan akan tertinggal oleh kemajuan zaman dan kemajuan bangsa-bangsa
lain.
Bahkan,
negara sosialis seperti Uni Soviet yang terkenal anti dunia luar tidak bisa
bertahan dan terpaksa membuka diri. Maka, kini, konsep pembangunan modern harus
membuat bangsa dan rakyat Indonesia membuka diri. Dalam upaya untuk meletakan
dasar-dasar masyarakat modern, bangsa Indonesia bukan hanya menyerap masuknya
modal, teknologi, ilmu pengetahuan, dan ketrampilan, tetapi juga terbawa masuk
nilai-nilai sosial politik yang berasal dari kebudayaan bangsa lain.
Yang
terpenting adalah bagaimana bangsa dan rakyat Indonesia mampu menyaring agar
hanya nilai-nilai kebudayaan yang baik dan sesuai dengan kepribadian bangsa
saja yang terserap. Sebaliknya, nilai-nilai budaya yang tidak sesuai apalagi
merusak tata nilai budaya nasional mesti ditolak dengan tegas. Kunci jawaban
dari persoalan tersebut terletak pada Pancasila sebagai pandangan hidup dan
dasar negara. Bila rakyat dan bangsa Indonesia konsisten menjaga nilai-nilai
luhur bangsa, maka nilai-nilai atau budaya dari luar yang tidak baik akan
tertolak dengan sendirinya. Cuma, persoalannya, dalam kondisi yang serba
terbuka seperti saat ini justeru jati diri bangsa Indonesia tengah berada pada
titik nadir. Bangsa dan rakyat Indonesia kini seakan-akan tidak mengenal
dirinya sendiri sehingga budaya atau nilai-nilai dari luar baik yang sesuai
maupun tidak sesuai terserap bulat-bulat. Nilai-nilai yang datang dari luar
serta-merta dinilai bagus, sedangkan nilai-nilai luhur bangsa yang telah
tertanam sejak lama dalam hati sanubari rakyat dinilai usang. Lihat saja sistem
demokrasi yang kini tengah berkembang di Tanah Air yang mengarah kepada faham
liberalisme. Padahal, negara Indonesia seperti ditegaskan dalam pidato Bung
Karno di depan Sidang Umum PBB menganut faham demokrasi Pancasila yang
berasaskan gotong royong, kekeluargaan, serta musyawarah dan mufakat.
Sistem
politik yang berkembang saat ini sangat gandrung dengan faham liberalisme dan
semakin menjauh dari sistem politik berdasarkan Pancasila yang seharusnya
dibangun dan diwujudkan rakyat dan bangsa Indonesia. Terlihat jelas betapa
demokrasi diartikan sebagai kebebasan tanpa batas. Hak asasi manusia (HAM)
dengan keliru diterjemahkan dengan boleh berbuat semaunya dan tak peduli apakah
merugikan atau mengganggu hak orang lain. Budaya dari luar, khususnya faham
liberalisme, telah merubah sudut pandang dan jati diri bangsa dan rakyat
Indonesia. Pergeseran nilai dan tata hidup yang serba liberal memaksa bangsa
dan rakyat Indonesia hidup dalam ketidakpastian. Akibatnya, seperti terlihat
saat ini, konstelasi politik nasional serba tidak jelas. Para elite politik
tampak hanya memikirkan kepentingan dirinya dan kelompoknya semata. Dalam
kondisi seperti itu sekali lagi peran Pancasila sebagai pandangan hidup dan
dasar negara memegang peranan penting. Pancasila akan menilai nilai-nilai mana
saja yang bisa diserap untuk disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila sendiri.
Dengan begitu, nilai-nilai baru yang berkembang nantinya tetap berada di atas
kepribadian bangsa Indonesia. Pasalnya, setiap bangsa di dunia sangat
memerlukan pandangan hidup agar mampu berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas
arah dan tujuan yang hendak dicapai. Dengan pandangan hidup, suatu bangsa
mempunyai pedoman dalam memandang setiap persoalan yang dihadapi serta mencari
solusi dari persoalan tersebut . Dalam pandangan hidup terkandung konsep
mengenai dasar kehidupan yang dicita-citakan suatu bangsa. Juga terkandung
pikiran-pikiran terdalam dan gagasan suatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang
dicita-citakan. Pada akhirnya pandangan hidup bisa diterjemahkan sebagai sebuah
kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki suatu bangsa yang diyakini
kebenarannya serta menimbulkan tekad bagi bangsa yang bersangkutan untuk
mewujudkannya. Karena itu, dalam pergaulan kehidupan berbangsa dan bernegara, bangsa
Indonesia tidak bisa begitu saja mencontoh atau meniru model yang dilakukan
bangsa lain, tanpa menyesuaikan dengan pandangan hidup dan kebutuhan bangsa
Indonesia sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar